Aturan Hukum Terbaru Peer to Peer Lending

Peer to Peer Lending merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang dilakukan melalui sistem elektronik. Peer to Peer Lending merupakan penemuan baru dalam bidang layanan jasa keuangan yang memanfaatkan sarana teknologi dan informasi demi mempermudah pelayanan dan transaksi dalam pinjam meminjam uang. Pada dasarnya, berdasarkan Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa perjanjian pinjam-meminjam merupakan perjanjian yang membuat pihak pertama menyerahkan sejumlah uang atau barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua tersebut akan mengembalikan uang atau barang sejenis kepada pihak pertama dengan jumlah dan keadaan yang sama. Dengan adanya Peer to Peer Lending ini kegiatan pinjam meminjam dilakukan dengan tanpa diperlukannya pertemuan secara langsung antara pemberi dan penerima pinjaman. 

Peer to Peer Lending di Indonesia diatur dalam Peraturan OJK Nomor 10 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK No 10/POJK.05/2022). Dalam Pasal 8 POJK No 10/POJK.05/2022 menjelaskan bahwa penyelenggara pinjaman online wajib melakukan pengajuan pendaftaran dan perizinan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Penyelenggara pinjaman online harus berbentuk badan hukum berupa perseroan terbatas (PT) dan akan disebut sebagai Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka penyelenggara pinjaman online yang tidak mendaftarkan dan memiliki izin resmi dari  Otoritas Jasa Keuangan serta tidak berbentuk PT ataupun koperasi dapat dikatakan sebagai pinjaman online ilegal.

POJK No. 10/POJK.05/2022 merupakan perubahan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK No 77/POJK.01/2016). Beberapa perubahan tersebut yaitu sebagai berikut:

  1. Dalam hal permodalan, dalam POJK No 77/POJK.01/2016 penyelenggara Peer to Peer Lending harus memiliki modal disetor pada tahap pendaftaran sebesar Rp1 miliar dan pada tahap perizinan sebesar Rp2,5 miliar. Sedangkan dalam POJK No 10/POJK.05/2022 harus memiliki modal disetor paling sedikit Rp25.000.000.000,00 pada saat pendirian. 
  2. Dalam hal tindakan korporasi tidak diatur dalam POJK No 77/POJK.01/2016, sedangkan POJK No 10/POJK.05/2022 mengatur terkait tindakan korporasi seperti perubahan kepemilikan perusahaan penyelenggara kecuali perusahaan terbuka yang diatur dalam Pasal 68, peningkatan modal disetor yang diatur dalam Pasal 70, perubahan anggota direksi, dewan komisaris, dewan pengawas syariah yang diatur dalam Pasal 71, dan transaksi merger dan akuisisi yang daitur dalam pasal 72. 
  3. Ketentuan terkait pemegang saham tidak diatur dalam POJK No 77/POJK.01/2016, sedangkan dalam POJK No 10/POJK.05/2022 diatur terkait perusahaan penyelenggara tidak dapat mengubah susunan pemegang sahamnya atau menambah pemegang saham baru di perusahaannya dalam waktu tiga tahun sejak diterbitkannya izin usaha oleh OJK yang diatur dalam Pasal 68 ayat (3).
  4. Ketentuan terkait pemegang saham pengendali tidak diatur dalam POJK No 77/POJK.01/2016, sedangkan dalam POJK No 10/POJK.05/2022 diatur terkait pemegang saham pengendali minimal satu orang yang merupakan badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang memiliki 25% atau lebih saham yang dikeluarkan dengan hak suara atau kurang dari 25% dari saham yang dikeluarkan dengan hak suara tetapi orang tersebut dapat dibuktikan mengendalikan perusahaan penyelenggara, baik secara langsung maupun tidak langsung. 
  5. Ketentuan terkait kepemilikan saham asing, dalam hal ini kedua POJK sama-sama mengatur terkait maksimal kepemilikan asing sebesar 85% dari total modal dasar/disetor perusahaan penyelenggara. Namun dalam POJK No 10/POJK.05/2022 diatur lebih lanjut bahwa hal  tersebut tidak berlaku bagi Penyelenggara yang merupakan perseroan terbuka dan memperdagangkan sahamnya di bursa efek.
  6. Ketentuan terkait Ambang batas maksimum pemberian pinjaman, dalam hal ini kedua POJK sama-sama mengatur terkait Ambang batas maksimum pemberian pinjaman sebesar Rp2 miliar untuk setiap penerima dana. Namun  dalam POJK No 10/POJK.05/2022 diatur lebih lanjut bahwa terdapat tambahan persyaratan yaitu maksimal 25% dari posisi akhir pendanaan oleh masing-masing penyandang dana dan afiliasinya pada akhir bulan.
  7. Ketentuan terkait Direksi, dalam Pasal 14 ayat (2) POJK No 77/POJK.01/2016 menyatakan bahwa perusahaan pemberi pinjaman harus memiliki minimal satu anggota direksi yang memiliki latar belakang industri jasa keuangan dengan pengalaman minimal 1 satu tahun. Sedangkan dalam Pasal 55 POJK No 10/POJK.05/2022 dinyatakan bahwa seluruh anggota Direksi perusahaan penyelenggara berdomisili di Indonesia, selain itu anggota direksi dilarang menjadi anggota direksi pada perusahaan lain, tetapi anggota direksi dapat menjadi anggota dewan komisaris paling banyak pada tiga perusahaan lain selain perusahaan penyelenggara, dan perusahaan penyelenggara harus memiliki minimal dua orang anggota direksi dan setengah dari jumlah anggota direksi harus memiliki pengalaman manajerial minimal dua tahun di lembaga jasa keuangan di bidang perkreditan atau pembiayaan, manajemen risiko, dan/atau keuangan 
  8. Ketentuan terkait Dewan Komisaris, dalam Pasal 14 ayat (2) POJK No 77/POJK.01/2016 menyatakan bahwa, perusahaan penyelenggara harus memiliki minimal satu anggota dewan komisaris yang memiliki latar belakang industri jasa keuangan dengan pengalaman minimal 1 tahun. Sedangkan dalam Pasal 56 POJK No 10/POJK.05/2022 dinyatakan bahwa, setengah dari jumlah total anggota Dewan Komisaris perusahaan penyelenggara berdomisili di Indonesia, Anggota Dewan Komisaris hanya dapat menjadi komisaris maksimal tiga perusahaan lain, perusahaan penyelenggara sekurang-kurangnya memiliki satu anggota Dewan Komisaris dan sekurang-kurangnya sama dengan jumlah seluruh anggota Direksi, dan setengah dari jumlah total anggota Dewan Komisaris harus memiliki pengalaman manajerial minimal dua tahun di lembaga jasa keuangan.
  9. Ketentuan terkait Dewan Pengawas Syariah (DPS) tidak diatur dalam POJK No 77/POJK.01/2016, sedangkan dalam Pasal 57 POJK No 10/POJK.05/2022 diatur bahwa perusahaan penyelenggara harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang anggota DPS yang direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional. Dan Anggota DPS dilarang merangkap jabatan sebagai anggota DPS pada lebih dari tiga lembaga keuangan syariah lainnya.

Meskipun pelaksanaan Peer to peer Lending melalui sistem elektronik, penyelenggara tetap wajib menerapkan prinsip, transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen dalam rangka mewujudkan perlindungan konsumen. Penyelenggara juga wajib melakukan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau, dengan mengacu pada POJK mengenai perlindungan konsumen. Dalam hal proses penagihan kepada penerima dana atau peminjam yang wanprestasi dilakukan paling sedikit dengan memberikan surat peringatan, dengan tata cara sesuai yang terdapat dalam perjanjian antara pemberi dana dan penerima dana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *